Rabu, 23 Maret 2011

Terancamnya Sungai, Terancamnya Peradaban


Judul: Jelajah Musi, Eksotika Sungai di Ujung Senja
Penulis : Tim Kompas
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun: I, April, 2010
Tebal: xxiv + 376
Harga: Rp. 89.000Sungai tidak hanya merupakan jalur perdagangan, tetapi juga tempat berawalnya peradaban. Jika kemudian sungai mengalami kerusakan parah, itulah awal meredupnya sebuah peradaban.
Sungai Musi yang meliuk di bumi Sumatera Selatan, sejak lama digunakan sebagai jalur perdagangan. Aliran sepanjang 720 kilometer ini seakan menjadi denyut nadi perekenomian sekaligus kehidupan masyarakat Sumsel.
Namun, kejayaan Musi di masa lalu terancam hilang. Pasalnya, sungai tersebut perlahan-lahan tengah mengalami kerusakan akibat tangan manusia yang selama berabad-abad justru hidup dan memperoleh berkah dari sungai tersebut.
Dari laporan yang disampaikan dalam buku ini, kerusakan sungai Kota Palembang itu sudah terjadi sejak di hulu sungai. Sayangnya, upaya untuk mengatasinya dirasakan lambat. Akibatnya, kerusakan tersebut semakin parah dan terancam tidak dapat tertanggulangi.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh sungai Musi adalah erosi. Erosi ini disebabkan oleh tidak memadainya konservasi atau pelestarian tanah. Hal inilah yang terjadi di daerah Tanjung Raya, Kabupaten Empat Lawang.
Di wilayah Tanjung Raya, tanaman kelapa sawit ditanam tanpa pohon pelindung karena pohon-pohon pelindung sudah ditebang. Sedangkan akar pohon sawit tidak mampu menahan erosi maupun air. Akibatnya sungai Musi meluap saat curah hujan meninggi.
Erosi seperti ini juga mengakibatkan pendangkalan di beberapa wilayah sepanjang aliran sungai Musi. Pendangkalan inilah yang membuat kapal-kapal besar tidak dapat lagi melayari sungai Musi. Padahal sejumlah kapal besar dibutuhkan untuk membawa minyak mentah dari kilang minyak yang telah diambil alih dari perusahaan minyak asing.
Hal tersebut semakin parah pada musim kemarau. Ketika musim kemarau tiba, tongkang yang membawa barang dagangan pun sulit untuk membawa barang dagangan ke tempat yang dituju. Padahal tongkang pembawa barang dagangan ini sangat membantu petani maupun warga yang berada di tepi sungai Musi.
Pencemaran yang diakibatkan oleh limbah rumah tangga menjadi masalah lain yang membebani sungai Musi. Hal ini terjadi seiring semakin banyaknya rumah yang dibangun dengan membelakangi sungai. Rumah yang dibangun membelakangi sungai potensial memperburuk kualitas air sungai karena limbah rumah tangga.

Tinggal cerita
Hal menarik lain dari sungai Musi adalah DAS (Daerah Aliran Sungai) Lematang yang merupakan salah satu anak sungai Musi. Dilaporkan, hingga tahun 1970-an sungai ini masih menjadi urat nadi kehidupan penduduk. Namun karena degradasi di bidang sosial-ekonomi, penduduk harus hengkang ke Jawa untuk menjadi buruh pabrik di pinggiran Jakarta.
Padahal menurut sejarah, pada pertengahan abad ke-19, di sepanjang DAS Lematang banyak ditemukan tanaman kapas. Bahkan, menurut sumber sejarah, setengah dari produksi kapas Karesidenan Palembang dihasilkan dari daerah tersebut. Namun hal itu kini hanya tinggal cerita.
Apa yang disajikan dalam buku ini adalah gambaran, potensi sungai yang besar seringkali hilang hanya karena ketidakmengertian masyarakat mengenai arti penting keberadaan sungai. Padahal Indonesia memiliki banyak sungai yang potensial untuk menggerakkan perekonomian dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Tampaknya, pemerintah pun harus memberikan perhatian yang lebih banyak terhadap kondisi sungai di Indonesia. Regulasi pemerintah yang tepat serta dijalankan dengan konsisten, akan membantu terpeliharanya kehidupan dan peradaban di sepanjang sungai.***



Di Kutip Dari klik di sini



Catatan Kegelisahan Seorang Pendaki

Judul: Norman Edwin, Catatan Sahabat Sang Alam
Penulis: Norman Edwin
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun: Mei, 2010
Tebal: xvi + 423 Halaman
Harga: Rp. 65.000

Buku ini tidak lain merupakan laporan Norman Edwin ketika berusaha menapakkan kaki berbagai puncak tertinggi di dunia, lembah-lembah penuh misteri, hingga wilayah-wilayah yang masih menyisakan persoalan.

Namun Norman tidak hanya menuliskan kenangan indah saat ia berada di tempat-tempat tersebut, tetapi ia juga melukiskan ketegangan, saat-saat maut mengintai, hingga masalah-masalah kronis yang “menghinggapi” berbagai tempat yang disambanginya.

Di tahun 1980-an, Norman Edwin bukan lagi "anak bawang" dalam jagat pendaki gunung. Pengalamannya mendakai berbagai tempat yang jarang dikunjungi manusia telah menempatkannya menjadi salah satu pendaki andalan dari Indonesia.

Kehebatannya menuliskan pengalaman selama melakukan pendakian maupun mengikuti ekspedisi, telah membuat lelaki yang dijuluki Beruang Gunung tersebut, dipercaya untuk membuat berbagai laporan di sejumlah media cetak di Indonesia.

Jika tulisan-tulisan dalam buku ini diamati, ternyata Norman tidak hanya bercerita sesuatu yang bersifat personal. Ia tidak berpretensi untuk menunjukkan superioritasnya sebagai sosok yang sanggup menjawab keganasan alam. Namun ia juga berusaha untuk memperlihatkan berbagai kecemasan dan keprihatinannya melihat alam yang semakin rusak oleh tangan manusia.

Pada bagian awal buku ini misalnya, Norman sudah memperlihatkan bahwa padang salju yang menyelimuti Puncak Jayawjaya semakin mengalami penyusutan. Penyusutan jumlah dan luas selimut es ternyata tidak hanya terjadi pada Puncak Jayawijaya, tetapi juga sejumlah puncak gunung es yang berada di belahan dunia lain.

Berbagai teori dan spekulasi dilontarkan untuk menjawab fenomena tersebut. Namun tidak satu pun yang dapat memberikan penjelasan yang memuaskan. Tetapi, kini, sekitar 30 tahun kemudian, ada jawaban yang mungkin membuat semua pihak puas, yakni pada saat itu proses pemanasan global sudah dimulai. Proses itu pulalah yang membuat gunung es di kutub utara mulai lumer.

Keprihatinan Norman atas rusaknya alam, tercermin juga dalam tulisanya mengenai Situ Aksan (situ berarti danau dalam bahasa Sunda), sebuah danau sisa peninggalan Bandung purba. Hasil penelusuran Norman memperlihatkan bahawa Situ Kasan yan pada tahun 1940-an masih seluas lima hektar persegi, namun 40 tahun kemudian menyusut hingga seluas satu hektar saja.

Lagi-lagi, kerusakan ini terjadi akibat ulah manusia yang membebani danau tersebut, mulai dari pembangunan pemukiman di sekitar danau hingga pencemaran yang berasal dari bangunan yang berada di sekitar danau tersebut. Lalu, seperti kisah sedih tentang alam lainnya, Situ Aksan pun akan tinggal cerita saja.

Tidak hanya soal kondisi alam, dalam buku ini juga dimuat tulisan Norman mengenai sejumlah situs candi yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Dimuatnya tulisan ini tentu saja menunjukkan bahwa persoalan seperti ini memang masih terjadi dan jelas-jelas menuntut penyelesaian. Sayangnya, upaya penyelesaian tersebut belum maksimal.
Catatan lain dari buku ini adalah, tidak terdapatnya keterangan pada foto yang dimuat. Padahal, sebuah foto justru tidak berbicara apa-apa ketika disuguhkan tanpa caption maupun teks. Alhasil, foto-foto dalam buku ini tidak begitu terasa faedahnya sebagai pelengkap isi tulisan. Sayang sekali.

Namun begitu, diterbitkannya buku ini patut mendapat apresiasi. Tentu bukan sekadar untuk menunjukkan heroisme ataupun keberhasilan manusia “menaklukkan” alam, tetapi juga sebagai sumber inspirasi bagi banyak orang muda untuk lebih peduli pada kondisi alam yang kian memprihatinkan.

Norman Edwin memang telah tiada. Ia kehilangan nyawanya ketika melakukan ekspedisi menuju puncak Aconcagua, di Argentina pada tahun 1992. Namun berkat tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dalam buku ini, pembaca masih dapat ikut merasakan kedahsyatan alam, sekaligus mendengarkan senandung sedih alam yang digerogoti oleh keserakahan manusia.***



Di Kutip Dari klik di sini



Menaksir Bencana Lingkungan Hidup


Judul : Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi
Penulis : Emil Salim
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbit : I, Juni 2010
Halaman : xxviii + 355 halamanBanyak peristiwa alam yang merugikan manusia terutama disulut oleh ulah manusia itu sendiri. Menurunnya permukaan tanah di kota-kota besar, banjir, krisis air bersih, musim yang tidak lagi dapat diprediksi, adalah fenomena alam yang muncul karena manusia tidak lagi menghargai lingkungannya.
Sayangnya, ketimbang mencari solusi, banyak negara malah berupaya untuk saling melemparkan kesalahan. Negara-negara maju dan negara berkembang saling tuding menunjuk siapa yang paling bertanggung atas meningkatnya emisi gas rumah kaca di seluruh dunia.
Sejumlah pertemuan antar negara untuk membahas hal tersebut memang terjadi, sebut saja Protokol Kyoto Jilid I (yang akan berakhir pada tahun 2012). Namun pencapaian maksimal masih urung terjadi.
Menurut Emil Salim, penulis buku Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi ini, memang tidak mudah untuk mencapai kesepakatan. Namun yang paling penting adalah bagaimana setiap negara memiliki kesadaran bahwa bumi berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
Untuk itu, setiap negara perlu memiliki regulasi yang dapat mengurangi gas karbon, baik tansportasi, indutri maupun rumah tangga. Selain itu harus ada pula regulasi yang mengupayakan teknologi ramah lingkungan, serta penggunaan energi terbarukan.
Dalam buku ini Emil Salim juga menyinggung masalah pengelolaan sumber daya alam. Menurutnya, pengelolaan sumber daya alam tidak hanya memunculkan masalah-masalah lingkungan, namun juga persoalan sosial.
Emil Salim mencontohkan, pembangunan pertambangan di daerah terpencil acap kali memunculkan konflik. Hal ini ini diistilahkan oleh Emil Salim sebagai akibat dari gagalnya mekanisme pasar menangkap isyarat sistem kehidupan sosial dan lingkungan.
Emil Salim juga mengkritik pembangunan di wilayah-wilayah resapan air seperti halnya Bopunjur. Menurutnya sudah sejak lama Presiden Soekarno meminta agar kawasan Bopunjur tidak banyak "diganggu". Namun hal tersebut tidak digubris, akibatnya banjir di Jakarta kian tidak terkendali.
Contoh lain pembangunan yang tidak memerhatikan dampak lingkungan adalah pembangunan jalan tol. Jalan tol memang telah menjadi "pembuluh darah" untuk mengalirkan "gula-gula" ekonomi ke sejumlah kota di sekitar Jakarta.
Sayangnya, pembangunan jalan tol tersebut telah mengorbankan ribuan hektar lahan persawahan yang akan berdampak pada ketersediaan bahan pangan, serta hilanganya ribuan hektar lahan daerah resapan air yang potensial mengakibatkan banjir dan kekeringan yang hebat.
Selain itu, tidak dapat dihindari pula, matinya beragam usaha maupun bisnis masyarakat di jalur lama, seperti rumah makan ataupun pedagang oleh-oleh. Hal ini disebabkan kendaraan lebih memilih melewati jalan tol ketimbang jalan lama.
Oleh sebab itu, Emil Salim kembali mengingatkan kita semua untuk benar-benar memperhitungan faktor lingkungan dalam pembangunan, terutama di kota-kota besar. Seakan ia juga ingin mengatakan, kota-kota yang masih gandrung membangun gedung bertingkat dan mal tanpa mengindahkan dampak lingkungan, bersiaplah menghadapi bencana yang tidak main-maiin.***


Di Kutip Dari klik di sini



Kenangan Seorang Wartawan Nekad

Judul : Keliling Indonesia, Dari Era Bung Karno sampai SBY

Penulis : Gerson Poyk

Penerbit : Libri

Terbit : I, 2010

Halaman : xiii + 307Halaman

Harga : Rp. 55.000

Wartawan selalu memiliki kisah-kisah menarik selama menjalankan profesinya. Sayangnya, hal itu tidak selalu dapat dituangkan ke dalam kolom-kolom di media tempat ia bekerja. Sebagai alternatif dipilihlah media lain, baik blog pribadi ataupun buku.

Cara terakhir inilah yang dipililih olah Gerson Poyk, wartawan senior sekaligus sastrawan yang acap kali menerima penghargaan baik di bidang jurnalistik maupun sastra. Gerson memilih buku sebagai media untuk menampilkan apa yang tersisa dalam ingatannya berkaitan dengan karirnya di dunia jurnalistik.

Buku ini berisi sejumlah catatan kenangan Gerson saat itu bekerja sebagai wartawan. Lelaki yang sudah bekerja sebagai wartawan sejak tahun 1960 itu, mengisahkan kembali berbagai pengalaman yang terekam dalam kenangan ketika menjalankan tugas jurnalistik.

Hal yang menarik, Gerson sengaja mengemas semua yang masih ada dalam kenangan itu dengan cara yang jenaka. Itulah yang membuat tulisan dalam buku ini terasa begitu segar. Humor di sana-sini membuat apa yang ditulisnya enak untuk dibaca dan lebih dari sekadar menuliskan sebuah kisah lama.

Tengok saja ketika ia berpura-pura menjadi anggota rombongan pengantar Bung Karno ketika Sukmawati, putrinya, menikah. Saat itu Gerson dan wartawan lain dilarang masuk ke dalam rumah Fatmawati oleh petugas. Padahal para kuli tinta sudah tidak sabar untuk melihat Soekarno yang sudah ditahan selama sekitar satu tahun.

Namun gagasan nekat Gerson muncul. Ia berpura-pura menjadi pendamping dua penghulu yang masuk ke dalam rumah Fatmawati lewat gang belakang. Ia pun berhasil masuk ke dalam.

Lalu, Gerson pun berhasil "mengobok-obok" suasana di dalam rumah Fatmawati, mulai dari kehadiran anggota keluarga, ranjang pengantin, seprai, kelambu, meja yang penuh dengan kue, hingga para ibu yang tengah mencabuti bulu ayam.

Bahkan ketika itu Gerson sempat menyaksikan dengan jelas bagaimana kondisi Soekarno. Ia mendeskripsikan lutut Soekarno yang gemetar ketika presiden pertama Republik Indonesia itu menaiki tangga.

Kegemaran Gerson pada alam terbuka dan kesederhanaan, juga tampak dalam tulisan-tulisannya. Tidak mengherankan jika ia memilih jalan darat dengan bus ketika pulang meliput kegiatan presiden ketimbang menumpang pesawat terbang.

Menurutnya, perjalanan di darat bersama rakyat kecil banyak memberikan pemandangan yang mengasyikkan, mulai dari pemandangan para mbok yang menggendong bungkusan batik, penjaja seks pinggiran yang miskin, sampai petani garam di pesisir utara Jawa dengan kulit yang berwarna tembaga.

Sayang, tidak diketahui secara pasti kapan tulisan-tulisan ini dibuat. Jika keterangan itu ada, maka jarak waktu antara saat penulisan dan ketika Gerson mengalami peritiwa yang diceritakannya itu, akan menjadi hal yang menarik.

Beragamnya kisah manusia yang dikisahkan oleh Gerson, menjadikan buku ini menjadi semacam tulisan sosiologis. Dari situ setiap orang dapat belajar bagaimana seharusnya membangun dan memperlakukan manusia.

Dari sudut pandang profesi wartawan, dari buku ini dapat juga dipetik pelajaran, bahwa keterbatasan fasilitas wartawan di masa lalu, justru mencetus kesempatan--dan kenekadan--untuk melihat Indonesia dan keindonesiaan.***



Di Kutip Dari klik di sini



Catatan dari Medan Perang


Judul : Catatan Perang Korea
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun : I, Desember, 2010
Halaman : xxvii + 154 halaman
Harga : Rp. 40.000 Mochtar Lubis terkenal sebagai wartawan yang setia kepada profesionalitas dan idealisme. Ini yang membuatnya dijuluki muckraker journalist alias wartawan yang berani membongkar skandal, penyimpangan, dan ketidakadilan, tanpa bergeser dari kaidah-kaidah jurnalistik yang benar.

Itu juga yang tercermin dalam buku Catatan Perang Korea. Buku ini disusunnya setelah ia mengunjungi Korea pada tahun 1950 untuk meliput perang yang terjadi di negeri ginseng itu.

Dalam buku ini tampak jelas bagaimana Mochtar Lubis yang meninggal pada 2 Juli 2004 lalu itu, tidak sekadar meliput peristiwa yang memakan korban jiwa, namun juga memperlihatkan dimensi lain dari perang.

Lewat tulisan-tulisannya, Mochtar Lubis memperlihatkan bahwa perang selalu menyisakan kepiluan dan kehancuran. Di sini ada semacam ironi, manusia yang selalu mengganggap diri sebagai pembentuk peradaban, justru menghancurkan dan memusnahkannya.

Dalam laporannya Mochtar menjadi saksi mata bagaimana ledakan bom, muntahan peluru, dan pecahan mortir, menghancurkan kehidupan manusia. Kenyataan yang tersisa hanyalah penderitaan.

Di sini Mochtar merenung, apakah semua itu ada gunanya? Apakah semua itu ada manfaatnya? Baginya, pemandangan manusia sekarat, bau amis darah, dan aroma busuk nanah bermakna kehancuran kemanusiaan.

Pada buku yang sama, mantan pemimpin Indonesia Raya tersebut menuliskan bahwa Perang Korea bukanlah semata-mata konflik antara Korea Utara maupun Korea Selatan. Sebaliknya, ada kekuatan eksternal yang memungkinkan kedua negara itu berada dalam konflik panjang.

Menurut Mochtar, pada dasarnya Korea Utara maupun Korea Selatan tidak memiliki sejarah konflik. Pertentangan terjadi karena ada perebutan kepentingan dari luar. Apalagi Korea adalah negeri yang kaya dengan sumber alam.

Lalu, siapa pihak yang paling bertanggung jawab atas peperangan yang terjadi? Mochtar menyimpulkan, Perang Korea tidak mungkin dipisahkan dari peran Amerika Serikat yang mencoba untuk menekan kekuatan komunisme dari Korea Utara memasuki Korea Selatan.

Untuk kepentingan tersebut Amerika Serikat bersama Perserikatan Bangsa-bangsa menurunkan pasukan di negeri itu. Ini yang menjadikan Amerika Serikat kemudian memiliki mesin perang yang besar, kuat dan efisien di Korea.

Menurut Mochtar, jika saja kedua negeri itu segera menyadari adanya campur tangan pihak asing daalam perang yang mereka lakoni, niscaya kerugian tidak bakal sehebat seperti yang dialami.

Meskipun perang antara Korea Utara dan Korea Selatan seperti yang dikisahkan dalam buku ini ditulis lebih dari setengah abad yang lalu, namun isi buku ini tetap relevan. Buku ini tidak hanya mengajarkan bagaimana seorang wartawan seharusnya bersikap, tetapi juga sebuah renungan mengenai dehumanisasi perang.

Hal yang lebih penting lagi, buku ini mengingatkan kepada pembaca bahwa sebuah pergolakan sosial, konflik politik, pertikaian antar golongan, gelombang aksi yang meluas, hingga kejatuhan sebuah rezim, mungkin bukanlah sebuah peristiwa tunggal, melainkan karena adanya kuasa ataupun kekuatan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan.



Di Kutip Dari klik di sini



Perjalanan Spiritual Putri Tiongkok ke Nusantara






Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Kisah mengenai Ong Tien sudah sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Malah, kisah mengenai putri yang berasal dari negeri Tiongkok ini memiliki tempat tersendiri dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara, khususnya di Jawa barat.

Kehadiran novel ini seakan menyegarkan ingatan kita kembali, bahwa perkembangan Islam di Nusantara memlilki banyak warna. Sehingga amat sulit untuk mengatakan bahwa Islam adalah sebuah agama yang berkembang karena dirinya sendiri, melainkan ada banyak faktor yang mendukungnya, mulai dari aspek kultural hingga politis.

Dalam buku ini dikisahkan bagaiamana kisah Ong Tien untuk pertama kalinya bertemu dengan Syarif Hidayatullah yang tidak lain adalah Sunan Gunung Jati, ulama terkemuka penyebar Islam di Pulau Jawa. Saat itu, tabib Syarif Hidayatullah diundang untuk mengunjungi istana kaisar Hong Gie.

Pada kesempatan itu terjadilah peristiwa “legenda” bokor kuningan yang berujung pada keputusan Ong tien untuk menemui tabib Syarif Hidayatullah yang berada di Pulau Jawa. Perjalanan yang penuh bahaya itu berhasil dilalui. Putri Ong Tien akhirnya bertemu dengan Syarif Hidayatullah, menikah dengannya, memeluk Islam, dan mempelajari Islam dengan lebih mendalam.

Hingga akhir hayatnya Putri Ong Tien digambarkan sebagai perempuan yang patuh kepada suami sebagai kepala keluarga. Apa yang dikatakan oleh sang suami selalu menjadi kekuatan baginya untuk menghadapi konflik batinnya, termasuk ketika keinginannya untuk memperoleh keturunan tidak dikabulkan oleh Tuhan.

Salah satu kekuatan buku ini adalah kayanya sumber sejarah yang dijadikan rujukan oleh penulisnya. Hal ini menjadikan kisah Putri Ong Tien tidak kering. Bahkan ada kesan bahwa buku ini menjadi sebuah novel sejarah.

Harus diakui, menyatukan fakta historis dalam sebuah novel bukan hal gampang. Kepiawaian penulis untuk menyatukan pecahan puzzle sejarah menjadi sebuah alur cerita yang menarik dan bernas menjadi sebuah keharusan. Penulis buku ini, Winny Gunarti, tampaknya memiliki kemampuan tersebut.

Catatan lain mengenai novel ini adalah, kisah-kisah yang dibiarkan tidak tergali dalam. Padahal cerita mengenai Ong Tien sangatlah menarik. Jika saja penulis buku ini berani melakukan reinterpretasi fakta sejarah seputar kisah Ong Tien, niscaya novel ini akan lebih mengasyikkan.
Sebut saja dengan memperdalam intrik politik dalam istana terkait hukuman yang dijatuhkan kepada selir kaisar, ataupun konflik batin istri-istri Sunan Gunung Jati ketika Ong Tien masuk dalam kehidupan mereka. Pendalaman ini pasti akan membuat novel ini tampil lebih menarik lagi.***



Di Kutip Dari klik di sini



Kisah Bandung Tempo Doloe

Judul: Semerbak Bunga Di Bandung Raya
Penullis: Haryoto Kunto
Penerbit Granesia, Bandung
Tahun: 1986
Tebal: 1016 halaman

Buku ini tergolong langka dan dicari oleh banyak kolektor buku. Tidak mengherankan jika ada kolektor yang siap melepas buku setebal lebih dari 1.000 halaman ini dengan dengan harga antara 800 ribu hingga 1,4 juta rupiah.

Buku ini memang menarik. Penulisnya, almarhum Haryoto Kunto, dosen planologi Institut Teknologi Bandung, tampak banyak mengetahui seluk-beluk Kota Bandung, tidak hanya dari sisi tata letak kota, tetapi juga dari sisi sosiologis.

Hasilnya, buku Semerbak Bunga di Bandung Raya, menjadi sangat berisi. Dari sini kita tidak hanya dapat melihat kisah Bandung Tempo Doloe, tetapi juga memikirkan bagaimana seharusnya Kota Bandung dikembangkan.

Hal ini diperlukan lantaran kecenderungan perkembangan Kota Bandung tidak lagi memerhatikan implikasi-implikasi yang bakal terjadi, baik secara tata ruang kota, estetika kota, ekologis, maupun kemasyarakatan.

Pembangunan mal, hotel, jalan layang, didirikannya factory outlet di jalan-jalan utama, telah membuat Kota Bandung kian sulit diatur. Hal ini disebabkan semua pembangunan itu gagal memprediksi dampak-dampak negatif yang bakal terjadi.

Tidak mengherankan jika, konon, sejumlah kawan mahasiswa arsitektur serta planologi ITB di tahun 1990-an, diwajibkan membaca buku ini agar dapat melihat bagaimana Bandung seharusnya dibangun.

Hal lain yang menarik dari buku ini yang usianya hampir seperempat abad ini adalah, banyak kisah-kisah nostalgia mengenai Bandung. Pembaca seakan diajak untuk "berkelana" ke masa lalu. Dan melihat Bandung yang masih asri, segar, serba teratur hingga dijuluki Paris Van Java.

Kisah Jalan Braga yang dulu menjadi tujuan tempat plesir tuan-tuan Belanda, hanya satu bagian kecil yang diulas oleh Haryoto Kunto dalam buku ini. Masih banyak lagi tempat yang diulas oleh Haryoto Kunto seperti kisah sungai Cikapundung, stasiun bandung, dingga kawasan Dago. Bahkan Haryoto Kunto pun sempat mengulas masalah Bandung Purba.

Buku ini memang layak dibaca tidak hanya oleh mereka yang cinta Kota Bandung tetapi juga oleh mereka yang peduli dengan koat tempat mereka tinggal, sebab dari buku dapat diketahui bagaimana sebaiknya sebuah kota diperlakukan. ***



Di Kutip Dari klik di sini