Rabu, 23 Maret 2011

Terancamnya Sungai, Terancamnya Peradaban


Judul: Jelajah Musi, Eksotika Sungai di Ujung Senja
Penulis : Tim Kompas
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun: I, April, 2010
Tebal: xxiv + 376
Harga: Rp. 89.000Sungai tidak hanya merupakan jalur perdagangan, tetapi juga tempat berawalnya peradaban. Jika kemudian sungai mengalami kerusakan parah, itulah awal meredupnya sebuah peradaban.
Sungai Musi yang meliuk di bumi Sumatera Selatan, sejak lama digunakan sebagai jalur perdagangan. Aliran sepanjang 720 kilometer ini seakan menjadi denyut nadi perekenomian sekaligus kehidupan masyarakat Sumsel.
Namun, kejayaan Musi di masa lalu terancam hilang. Pasalnya, sungai tersebut perlahan-lahan tengah mengalami kerusakan akibat tangan manusia yang selama berabad-abad justru hidup dan memperoleh berkah dari sungai tersebut.
Dari laporan yang disampaikan dalam buku ini, kerusakan sungai Kota Palembang itu sudah terjadi sejak di hulu sungai. Sayangnya, upaya untuk mengatasinya dirasakan lambat. Akibatnya, kerusakan tersebut semakin parah dan terancam tidak dapat tertanggulangi.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh sungai Musi adalah erosi. Erosi ini disebabkan oleh tidak memadainya konservasi atau pelestarian tanah. Hal inilah yang terjadi di daerah Tanjung Raya, Kabupaten Empat Lawang.
Di wilayah Tanjung Raya, tanaman kelapa sawit ditanam tanpa pohon pelindung karena pohon-pohon pelindung sudah ditebang. Sedangkan akar pohon sawit tidak mampu menahan erosi maupun air. Akibatnya sungai Musi meluap saat curah hujan meninggi.
Erosi seperti ini juga mengakibatkan pendangkalan di beberapa wilayah sepanjang aliran sungai Musi. Pendangkalan inilah yang membuat kapal-kapal besar tidak dapat lagi melayari sungai Musi. Padahal sejumlah kapal besar dibutuhkan untuk membawa minyak mentah dari kilang minyak yang telah diambil alih dari perusahaan minyak asing.
Hal tersebut semakin parah pada musim kemarau. Ketika musim kemarau tiba, tongkang yang membawa barang dagangan pun sulit untuk membawa barang dagangan ke tempat yang dituju. Padahal tongkang pembawa barang dagangan ini sangat membantu petani maupun warga yang berada di tepi sungai Musi.
Pencemaran yang diakibatkan oleh limbah rumah tangga menjadi masalah lain yang membebani sungai Musi. Hal ini terjadi seiring semakin banyaknya rumah yang dibangun dengan membelakangi sungai. Rumah yang dibangun membelakangi sungai potensial memperburuk kualitas air sungai karena limbah rumah tangga.

Tinggal cerita
Hal menarik lain dari sungai Musi adalah DAS (Daerah Aliran Sungai) Lematang yang merupakan salah satu anak sungai Musi. Dilaporkan, hingga tahun 1970-an sungai ini masih menjadi urat nadi kehidupan penduduk. Namun karena degradasi di bidang sosial-ekonomi, penduduk harus hengkang ke Jawa untuk menjadi buruh pabrik di pinggiran Jakarta.
Padahal menurut sejarah, pada pertengahan abad ke-19, di sepanjang DAS Lematang banyak ditemukan tanaman kapas. Bahkan, menurut sumber sejarah, setengah dari produksi kapas Karesidenan Palembang dihasilkan dari daerah tersebut. Namun hal itu kini hanya tinggal cerita.
Apa yang disajikan dalam buku ini adalah gambaran, potensi sungai yang besar seringkali hilang hanya karena ketidakmengertian masyarakat mengenai arti penting keberadaan sungai. Padahal Indonesia memiliki banyak sungai yang potensial untuk menggerakkan perekonomian dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Tampaknya, pemerintah pun harus memberikan perhatian yang lebih banyak terhadap kondisi sungai di Indonesia. Regulasi pemerintah yang tepat serta dijalankan dengan konsisten, akan membantu terpeliharanya kehidupan dan peradaban di sepanjang sungai.***



Di Kutip Dari klik di sini



Catatan Kegelisahan Seorang Pendaki

Judul: Norman Edwin, Catatan Sahabat Sang Alam
Penulis: Norman Edwin
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun: Mei, 2010
Tebal: xvi + 423 Halaman
Harga: Rp. 65.000

Buku ini tidak lain merupakan laporan Norman Edwin ketika berusaha menapakkan kaki berbagai puncak tertinggi di dunia, lembah-lembah penuh misteri, hingga wilayah-wilayah yang masih menyisakan persoalan.

Namun Norman tidak hanya menuliskan kenangan indah saat ia berada di tempat-tempat tersebut, tetapi ia juga melukiskan ketegangan, saat-saat maut mengintai, hingga masalah-masalah kronis yang “menghinggapi” berbagai tempat yang disambanginya.

Di tahun 1980-an, Norman Edwin bukan lagi "anak bawang" dalam jagat pendaki gunung. Pengalamannya mendakai berbagai tempat yang jarang dikunjungi manusia telah menempatkannya menjadi salah satu pendaki andalan dari Indonesia.

Kehebatannya menuliskan pengalaman selama melakukan pendakian maupun mengikuti ekspedisi, telah membuat lelaki yang dijuluki Beruang Gunung tersebut, dipercaya untuk membuat berbagai laporan di sejumlah media cetak di Indonesia.

Jika tulisan-tulisan dalam buku ini diamati, ternyata Norman tidak hanya bercerita sesuatu yang bersifat personal. Ia tidak berpretensi untuk menunjukkan superioritasnya sebagai sosok yang sanggup menjawab keganasan alam. Namun ia juga berusaha untuk memperlihatkan berbagai kecemasan dan keprihatinannya melihat alam yang semakin rusak oleh tangan manusia.

Pada bagian awal buku ini misalnya, Norman sudah memperlihatkan bahwa padang salju yang menyelimuti Puncak Jayawjaya semakin mengalami penyusutan. Penyusutan jumlah dan luas selimut es ternyata tidak hanya terjadi pada Puncak Jayawijaya, tetapi juga sejumlah puncak gunung es yang berada di belahan dunia lain.

Berbagai teori dan spekulasi dilontarkan untuk menjawab fenomena tersebut. Namun tidak satu pun yang dapat memberikan penjelasan yang memuaskan. Tetapi, kini, sekitar 30 tahun kemudian, ada jawaban yang mungkin membuat semua pihak puas, yakni pada saat itu proses pemanasan global sudah dimulai. Proses itu pulalah yang membuat gunung es di kutub utara mulai lumer.

Keprihatinan Norman atas rusaknya alam, tercermin juga dalam tulisanya mengenai Situ Aksan (situ berarti danau dalam bahasa Sunda), sebuah danau sisa peninggalan Bandung purba. Hasil penelusuran Norman memperlihatkan bahawa Situ Kasan yan pada tahun 1940-an masih seluas lima hektar persegi, namun 40 tahun kemudian menyusut hingga seluas satu hektar saja.

Lagi-lagi, kerusakan ini terjadi akibat ulah manusia yang membebani danau tersebut, mulai dari pembangunan pemukiman di sekitar danau hingga pencemaran yang berasal dari bangunan yang berada di sekitar danau tersebut. Lalu, seperti kisah sedih tentang alam lainnya, Situ Aksan pun akan tinggal cerita saja.

Tidak hanya soal kondisi alam, dalam buku ini juga dimuat tulisan Norman mengenai sejumlah situs candi yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Dimuatnya tulisan ini tentu saja menunjukkan bahwa persoalan seperti ini memang masih terjadi dan jelas-jelas menuntut penyelesaian. Sayangnya, upaya penyelesaian tersebut belum maksimal.
Catatan lain dari buku ini adalah, tidak terdapatnya keterangan pada foto yang dimuat. Padahal, sebuah foto justru tidak berbicara apa-apa ketika disuguhkan tanpa caption maupun teks. Alhasil, foto-foto dalam buku ini tidak begitu terasa faedahnya sebagai pelengkap isi tulisan. Sayang sekali.

Namun begitu, diterbitkannya buku ini patut mendapat apresiasi. Tentu bukan sekadar untuk menunjukkan heroisme ataupun keberhasilan manusia “menaklukkan” alam, tetapi juga sebagai sumber inspirasi bagi banyak orang muda untuk lebih peduli pada kondisi alam yang kian memprihatinkan.

Norman Edwin memang telah tiada. Ia kehilangan nyawanya ketika melakukan ekspedisi menuju puncak Aconcagua, di Argentina pada tahun 1992. Namun berkat tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dalam buku ini, pembaca masih dapat ikut merasakan kedahsyatan alam, sekaligus mendengarkan senandung sedih alam yang digerogoti oleh keserakahan manusia.***



Di Kutip Dari klik di sini



Menaksir Bencana Lingkungan Hidup


Judul : Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi
Penulis : Emil Salim
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbit : I, Juni 2010
Halaman : xxviii + 355 halamanBanyak peristiwa alam yang merugikan manusia terutama disulut oleh ulah manusia itu sendiri. Menurunnya permukaan tanah di kota-kota besar, banjir, krisis air bersih, musim yang tidak lagi dapat diprediksi, adalah fenomena alam yang muncul karena manusia tidak lagi menghargai lingkungannya.
Sayangnya, ketimbang mencari solusi, banyak negara malah berupaya untuk saling melemparkan kesalahan. Negara-negara maju dan negara berkembang saling tuding menunjuk siapa yang paling bertanggung atas meningkatnya emisi gas rumah kaca di seluruh dunia.
Sejumlah pertemuan antar negara untuk membahas hal tersebut memang terjadi, sebut saja Protokol Kyoto Jilid I (yang akan berakhir pada tahun 2012). Namun pencapaian maksimal masih urung terjadi.
Menurut Emil Salim, penulis buku Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi ini, memang tidak mudah untuk mencapai kesepakatan. Namun yang paling penting adalah bagaimana setiap negara memiliki kesadaran bahwa bumi berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
Untuk itu, setiap negara perlu memiliki regulasi yang dapat mengurangi gas karbon, baik tansportasi, indutri maupun rumah tangga. Selain itu harus ada pula regulasi yang mengupayakan teknologi ramah lingkungan, serta penggunaan energi terbarukan.
Dalam buku ini Emil Salim juga menyinggung masalah pengelolaan sumber daya alam. Menurutnya, pengelolaan sumber daya alam tidak hanya memunculkan masalah-masalah lingkungan, namun juga persoalan sosial.
Emil Salim mencontohkan, pembangunan pertambangan di daerah terpencil acap kali memunculkan konflik. Hal ini ini diistilahkan oleh Emil Salim sebagai akibat dari gagalnya mekanisme pasar menangkap isyarat sistem kehidupan sosial dan lingkungan.
Emil Salim juga mengkritik pembangunan di wilayah-wilayah resapan air seperti halnya Bopunjur. Menurutnya sudah sejak lama Presiden Soekarno meminta agar kawasan Bopunjur tidak banyak "diganggu". Namun hal tersebut tidak digubris, akibatnya banjir di Jakarta kian tidak terkendali.
Contoh lain pembangunan yang tidak memerhatikan dampak lingkungan adalah pembangunan jalan tol. Jalan tol memang telah menjadi "pembuluh darah" untuk mengalirkan "gula-gula" ekonomi ke sejumlah kota di sekitar Jakarta.
Sayangnya, pembangunan jalan tol tersebut telah mengorbankan ribuan hektar lahan persawahan yang akan berdampak pada ketersediaan bahan pangan, serta hilanganya ribuan hektar lahan daerah resapan air yang potensial mengakibatkan banjir dan kekeringan yang hebat.
Selain itu, tidak dapat dihindari pula, matinya beragam usaha maupun bisnis masyarakat di jalur lama, seperti rumah makan ataupun pedagang oleh-oleh. Hal ini disebabkan kendaraan lebih memilih melewati jalan tol ketimbang jalan lama.
Oleh sebab itu, Emil Salim kembali mengingatkan kita semua untuk benar-benar memperhitungan faktor lingkungan dalam pembangunan, terutama di kota-kota besar. Seakan ia juga ingin mengatakan, kota-kota yang masih gandrung membangun gedung bertingkat dan mal tanpa mengindahkan dampak lingkungan, bersiaplah menghadapi bencana yang tidak main-maiin.***


Di Kutip Dari klik di sini



Kenangan Seorang Wartawan Nekad

Judul : Keliling Indonesia, Dari Era Bung Karno sampai SBY

Penulis : Gerson Poyk

Penerbit : Libri

Terbit : I, 2010

Halaman : xiii + 307Halaman

Harga : Rp. 55.000

Wartawan selalu memiliki kisah-kisah menarik selama menjalankan profesinya. Sayangnya, hal itu tidak selalu dapat dituangkan ke dalam kolom-kolom di media tempat ia bekerja. Sebagai alternatif dipilihlah media lain, baik blog pribadi ataupun buku.

Cara terakhir inilah yang dipililih olah Gerson Poyk, wartawan senior sekaligus sastrawan yang acap kali menerima penghargaan baik di bidang jurnalistik maupun sastra. Gerson memilih buku sebagai media untuk menampilkan apa yang tersisa dalam ingatannya berkaitan dengan karirnya di dunia jurnalistik.

Buku ini berisi sejumlah catatan kenangan Gerson saat itu bekerja sebagai wartawan. Lelaki yang sudah bekerja sebagai wartawan sejak tahun 1960 itu, mengisahkan kembali berbagai pengalaman yang terekam dalam kenangan ketika menjalankan tugas jurnalistik.

Hal yang menarik, Gerson sengaja mengemas semua yang masih ada dalam kenangan itu dengan cara yang jenaka. Itulah yang membuat tulisan dalam buku ini terasa begitu segar. Humor di sana-sini membuat apa yang ditulisnya enak untuk dibaca dan lebih dari sekadar menuliskan sebuah kisah lama.

Tengok saja ketika ia berpura-pura menjadi anggota rombongan pengantar Bung Karno ketika Sukmawati, putrinya, menikah. Saat itu Gerson dan wartawan lain dilarang masuk ke dalam rumah Fatmawati oleh petugas. Padahal para kuli tinta sudah tidak sabar untuk melihat Soekarno yang sudah ditahan selama sekitar satu tahun.

Namun gagasan nekat Gerson muncul. Ia berpura-pura menjadi pendamping dua penghulu yang masuk ke dalam rumah Fatmawati lewat gang belakang. Ia pun berhasil masuk ke dalam.

Lalu, Gerson pun berhasil "mengobok-obok" suasana di dalam rumah Fatmawati, mulai dari kehadiran anggota keluarga, ranjang pengantin, seprai, kelambu, meja yang penuh dengan kue, hingga para ibu yang tengah mencabuti bulu ayam.

Bahkan ketika itu Gerson sempat menyaksikan dengan jelas bagaimana kondisi Soekarno. Ia mendeskripsikan lutut Soekarno yang gemetar ketika presiden pertama Republik Indonesia itu menaiki tangga.

Kegemaran Gerson pada alam terbuka dan kesederhanaan, juga tampak dalam tulisan-tulisannya. Tidak mengherankan jika ia memilih jalan darat dengan bus ketika pulang meliput kegiatan presiden ketimbang menumpang pesawat terbang.

Menurutnya, perjalanan di darat bersama rakyat kecil banyak memberikan pemandangan yang mengasyikkan, mulai dari pemandangan para mbok yang menggendong bungkusan batik, penjaja seks pinggiran yang miskin, sampai petani garam di pesisir utara Jawa dengan kulit yang berwarna tembaga.

Sayang, tidak diketahui secara pasti kapan tulisan-tulisan ini dibuat. Jika keterangan itu ada, maka jarak waktu antara saat penulisan dan ketika Gerson mengalami peritiwa yang diceritakannya itu, akan menjadi hal yang menarik.

Beragamnya kisah manusia yang dikisahkan oleh Gerson, menjadikan buku ini menjadi semacam tulisan sosiologis. Dari situ setiap orang dapat belajar bagaimana seharusnya membangun dan memperlakukan manusia.

Dari sudut pandang profesi wartawan, dari buku ini dapat juga dipetik pelajaran, bahwa keterbatasan fasilitas wartawan di masa lalu, justru mencetus kesempatan--dan kenekadan--untuk melihat Indonesia dan keindonesiaan.***



Di Kutip Dari klik di sini



Catatan dari Medan Perang


Judul : Catatan Perang Korea
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun : I, Desember, 2010
Halaman : xxvii + 154 halaman
Harga : Rp. 40.000 Mochtar Lubis terkenal sebagai wartawan yang setia kepada profesionalitas dan idealisme. Ini yang membuatnya dijuluki muckraker journalist alias wartawan yang berani membongkar skandal, penyimpangan, dan ketidakadilan, tanpa bergeser dari kaidah-kaidah jurnalistik yang benar.

Itu juga yang tercermin dalam buku Catatan Perang Korea. Buku ini disusunnya setelah ia mengunjungi Korea pada tahun 1950 untuk meliput perang yang terjadi di negeri ginseng itu.

Dalam buku ini tampak jelas bagaimana Mochtar Lubis yang meninggal pada 2 Juli 2004 lalu itu, tidak sekadar meliput peristiwa yang memakan korban jiwa, namun juga memperlihatkan dimensi lain dari perang.

Lewat tulisan-tulisannya, Mochtar Lubis memperlihatkan bahwa perang selalu menyisakan kepiluan dan kehancuran. Di sini ada semacam ironi, manusia yang selalu mengganggap diri sebagai pembentuk peradaban, justru menghancurkan dan memusnahkannya.

Dalam laporannya Mochtar menjadi saksi mata bagaimana ledakan bom, muntahan peluru, dan pecahan mortir, menghancurkan kehidupan manusia. Kenyataan yang tersisa hanyalah penderitaan.

Di sini Mochtar merenung, apakah semua itu ada gunanya? Apakah semua itu ada manfaatnya? Baginya, pemandangan manusia sekarat, bau amis darah, dan aroma busuk nanah bermakna kehancuran kemanusiaan.

Pada buku yang sama, mantan pemimpin Indonesia Raya tersebut menuliskan bahwa Perang Korea bukanlah semata-mata konflik antara Korea Utara maupun Korea Selatan. Sebaliknya, ada kekuatan eksternal yang memungkinkan kedua negara itu berada dalam konflik panjang.

Menurut Mochtar, pada dasarnya Korea Utara maupun Korea Selatan tidak memiliki sejarah konflik. Pertentangan terjadi karena ada perebutan kepentingan dari luar. Apalagi Korea adalah negeri yang kaya dengan sumber alam.

Lalu, siapa pihak yang paling bertanggung jawab atas peperangan yang terjadi? Mochtar menyimpulkan, Perang Korea tidak mungkin dipisahkan dari peran Amerika Serikat yang mencoba untuk menekan kekuatan komunisme dari Korea Utara memasuki Korea Selatan.

Untuk kepentingan tersebut Amerika Serikat bersama Perserikatan Bangsa-bangsa menurunkan pasukan di negeri itu. Ini yang menjadikan Amerika Serikat kemudian memiliki mesin perang yang besar, kuat dan efisien di Korea.

Menurut Mochtar, jika saja kedua negeri itu segera menyadari adanya campur tangan pihak asing daalam perang yang mereka lakoni, niscaya kerugian tidak bakal sehebat seperti yang dialami.

Meskipun perang antara Korea Utara dan Korea Selatan seperti yang dikisahkan dalam buku ini ditulis lebih dari setengah abad yang lalu, namun isi buku ini tetap relevan. Buku ini tidak hanya mengajarkan bagaimana seorang wartawan seharusnya bersikap, tetapi juga sebuah renungan mengenai dehumanisasi perang.

Hal yang lebih penting lagi, buku ini mengingatkan kepada pembaca bahwa sebuah pergolakan sosial, konflik politik, pertikaian antar golongan, gelombang aksi yang meluas, hingga kejatuhan sebuah rezim, mungkin bukanlah sebuah peristiwa tunggal, melainkan karena adanya kuasa ataupun kekuatan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan.



Di Kutip Dari klik di sini



Perjalanan Spiritual Putri Tiongkok ke Nusantara






Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Kisah mengenai Ong Tien sudah sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Malah, kisah mengenai putri yang berasal dari negeri Tiongkok ini memiliki tempat tersendiri dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara, khususnya di Jawa barat.

Kehadiran novel ini seakan menyegarkan ingatan kita kembali, bahwa perkembangan Islam di Nusantara memlilki banyak warna. Sehingga amat sulit untuk mengatakan bahwa Islam adalah sebuah agama yang berkembang karena dirinya sendiri, melainkan ada banyak faktor yang mendukungnya, mulai dari aspek kultural hingga politis.

Dalam buku ini dikisahkan bagaiamana kisah Ong Tien untuk pertama kalinya bertemu dengan Syarif Hidayatullah yang tidak lain adalah Sunan Gunung Jati, ulama terkemuka penyebar Islam di Pulau Jawa. Saat itu, tabib Syarif Hidayatullah diundang untuk mengunjungi istana kaisar Hong Gie.

Pada kesempatan itu terjadilah peristiwa “legenda” bokor kuningan yang berujung pada keputusan Ong tien untuk menemui tabib Syarif Hidayatullah yang berada di Pulau Jawa. Perjalanan yang penuh bahaya itu berhasil dilalui. Putri Ong Tien akhirnya bertemu dengan Syarif Hidayatullah, menikah dengannya, memeluk Islam, dan mempelajari Islam dengan lebih mendalam.

Hingga akhir hayatnya Putri Ong Tien digambarkan sebagai perempuan yang patuh kepada suami sebagai kepala keluarga. Apa yang dikatakan oleh sang suami selalu menjadi kekuatan baginya untuk menghadapi konflik batinnya, termasuk ketika keinginannya untuk memperoleh keturunan tidak dikabulkan oleh Tuhan.

Salah satu kekuatan buku ini adalah kayanya sumber sejarah yang dijadikan rujukan oleh penulisnya. Hal ini menjadikan kisah Putri Ong Tien tidak kering. Bahkan ada kesan bahwa buku ini menjadi sebuah novel sejarah.

Harus diakui, menyatukan fakta historis dalam sebuah novel bukan hal gampang. Kepiawaian penulis untuk menyatukan pecahan puzzle sejarah menjadi sebuah alur cerita yang menarik dan bernas menjadi sebuah keharusan. Penulis buku ini, Winny Gunarti, tampaknya memiliki kemampuan tersebut.

Catatan lain mengenai novel ini adalah, kisah-kisah yang dibiarkan tidak tergali dalam. Padahal cerita mengenai Ong Tien sangatlah menarik. Jika saja penulis buku ini berani melakukan reinterpretasi fakta sejarah seputar kisah Ong Tien, niscaya novel ini akan lebih mengasyikkan.
Sebut saja dengan memperdalam intrik politik dalam istana terkait hukuman yang dijatuhkan kepada selir kaisar, ataupun konflik batin istri-istri Sunan Gunung Jati ketika Ong Tien masuk dalam kehidupan mereka. Pendalaman ini pasti akan membuat novel ini tampil lebih menarik lagi.***



Di Kutip Dari klik di sini



Kisah Bandung Tempo Doloe

Judul: Semerbak Bunga Di Bandung Raya
Penullis: Haryoto Kunto
Penerbit Granesia, Bandung
Tahun: 1986
Tebal: 1016 halaman

Buku ini tergolong langka dan dicari oleh banyak kolektor buku. Tidak mengherankan jika ada kolektor yang siap melepas buku setebal lebih dari 1.000 halaman ini dengan dengan harga antara 800 ribu hingga 1,4 juta rupiah.

Buku ini memang menarik. Penulisnya, almarhum Haryoto Kunto, dosen planologi Institut Teknologi Bandung, tampak banyak mengetahui seluk-beluk Kota Bandung, tidak hanya dari sisi tata letak kota, tetapi juga dari sisi sosiologis.

Hasilnya, buku Semerbak Bunga di Bandung Raya, menjadi sangat berisi. Dari sini kita tidak hanya dapat melihat kisah Bandung Tempo Doloe, tetapi juga memikirkan bagaimana seharusnya Kota Bandung dikembangkan.

Hal ini diperlukan lantaran kecenderungan perkembangan Kota Bandung tidak lagi memerhatikan implikasi-implikasi yang bakal terjadi, baik secara tata ruang kota, estetika kota, ekologis, maupun kemasyarakatan.

Pembangunan mal, hotel, jalan layang, didirikannya factory outlet di jalan-jalan utama, telah membuat Kota Bandung kian sulit diatur. Hal ini disebabkan semua pembangunan itu gagal memprediksi dampak-dampak negatif yang bakal terjadi.

Tidak mengherankan jika, konon, sejumlah kawan mahasiswa arsitektur serta planologi ITB di tahun 1990-an, diwajibkan membaca buku ini agar dapat melihat bagaimana Bandung seharusnya dibangun.

Hal lain yang menarik dari buku ini yang usianya hampir seperempat abad ini adalah, banyak kisah-kisah nostalgia mengenai Bandung. Pembaca seakan diajak untuk "berkelana" ke masa lalu. Dan melihat Bandung yang masih asri, segar, serba teratur hingga dijuluki Paris Van Java.

Kisah Jalan Braga yang dulu menjadi tujuan tempat plesir tuan-tuan Belanda, hanya satu bagian kecil yang diulas oleh Haryoto Kunto dalam buku ini. Masih banyak lagi tempat yang diulas oleh Haryoto Kunto seperti kisah sungai Cikapundung, stasiun bandung, dingga kawasan Dago. Bahkan Haryoto Kunto pun sempat mengulas masalah Bandung Purba.

Buku ini memang layak dibaca tidak hanya oleh mereka yang cinta Kota Bandung tetapi juga oleh mereka yang peduli dengan koat tempat mereka tinggal, sebab dari buku dapat diketahui bagaimana sebaiknya sebuah kota diperlakukan. ***



Di Kutip Dari klik di sini



Akar Pemberontakan Macan Tamil



Judul: Auman Terakhir Macan Tamil
Penulis : Yoki Rakaryan Sukarjaputra
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Terbit: I, Agustus 2010
Halaman: xxviii + 203 Halaman
Harga: Rp. 42.000

Gerakan-gerakan di Indoneisa yang dipicu oleh tindak ketidakadilan, harus diwaspadai. Pasalnya, hal itu dapat memicu persoalan yang lebih besar, mulai dari perang saudara hingga pemberontakan berbiaya sosial tinggi.

Pelajaran berharga dapat diambil dari pemberontakan Macan Tamil di Sri Lanka. Seperti yang dipaparkan dalam buku Auman Terakhir Macan Tamil ini, perang sipil yang terjadi di Sri Lanka dipicu oleh ketidakpuasan atas kebijakan diskrimantif terhadap kelompok etnis Tamil.

Perlakuan tidak seimbang yang dilakukan secara sistemik oleh rejim penguasa, terakumulasi sedemikian rupa, sehingga bermetamorfrosa menjadi gerakan perlawanan yang sulit dibendung. Perlawanan tersebut sering bermuara pada pertumpahan darah yang merugikan banyak pihak.

Buku ini secara umum mengajak pembaca untuk melihat fakta historis akar masalah terjadinya pemberontakan Macan Tamil di Sri Lanka. Akar masalah tersebut adalah ketidakpuasan etnis Tamil dari India yang berada di Sri Lanka.

Semua itu bermula ketika Sri Lanka yang masih bernama Ceylon masih dipegang oleh pemerintah kolonial yang sempat hadir di sana, yakni Portugis, Belanda dan kemudian Inggris. Saat itu Ceylon dihuni oleh warga etnis Sinhala, Tamil dan Moor.

Konflik antar etnis yang sudah sering terjadi itu diperburuk oleh Inggris yang membuka kawasan perkebunan di Ceylon. Ketika itu, Inggris dianggap diskriminatif karena lebih banyak memberikan “kenyamanan’ kepada kelompok yang tidak banyak "membuat persoalan", yakni etnis Sinhala.

Inilah yang memicu rasa tidak puas warga etnis Tamil. Akhirnya, pada tahun 1939 pecah pertikaian antara warga Tamil dan Sinhala. Sejak itu, gesekan antara kedua kelompok tersebut kian menjadi-jadi. Hal ini diperburuk dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Sri Lanka pasca kemerdekaan.

Kebijakan itu antara lain menjadikan bahasa Sinhala menjadi bahasa resmi di Sri Lanka. Kemudian dikeluarkannya aturan darurat yang memperbolehkan polisi mengubur atau mengkremasi mayat tanpa otopsi terelebih dahulu.

Peraturan darurat itu keluar menyusul tewasnya seorang pemuda Tamil saat ditahan tanpa dakwaan dalam penjara polisi. Anehnya, pihak kejaksaan di Jaffna menyatakan pemuda itu korban bunuh diri. Padahal, beberapa luka bekas tusukan didapati di tubuhnya.

Buku ini juga menunjukkan fakta mengenai adanya usaha pembantaian terhadap etnis Tamil yang dilakukan secara sistematis oleh kelompok Sinhala. Namun diingatkan, kejadian bukanlah tindakan spontan, namun diatur dan direncakan oleh kekuatan tertentu.

Perlawanan macan Tamil mungkin sudah surut, menyusul tewasanya Velupillai Prabhakaran sang pemimpin. Namun itu tidak berarti perlawanan Macan Tamil secara ideologis mati. Selama penguasa dan kelompok mayoritas memperlakukan kelompok kecil secara diskriminatif, sesungguhnya sumbu perlawanan itu masih menyala.

Kita kira, hal semacam inilah yang harus diwaspai di Indonesia. Perlakuan semena-mena terhadap kelompok minoritas, baik secara langsung maupun lewat legalitas kebijakan, sangat potensial menyulut gesekan, baik secara vertikal maupun horisontal. Jadi, waspadai saja.***



Di Kutip Dari klik di sini



Jejak Spionase Internasional di Indonesia

Judul : Namaku Matahari
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : I, Oktober 2010
Halaman : 559
Harga : Rp. 79.000

Meskipun sudah banyak sumber yang mengungkap kehidupan Mata Hari, namun sosoknya tetap misterius. Sebut saja fakta seputar kematiannya. Konon hingga kini tidak jelas dimana ia dikuburkan.

Hal yang jelas, ia pernah hadir pada masa Perang Dunia Ke-I. Kala itu ia menjadi agen rahasia untuk dua negara sekaligus (double agent), Jerman dan Perancis.

Dikisahkan, Mata Hari lahir di Leeuwardeng, Belanda pada tahun 1876. Kala itu ia masih memakai naman Margaretha Geertruida. Pada usia 18 tahun ia menikah dengan seorang opsir Belanda bernama Rudolf John MacLeod.

Setelah itu ia pindah ke Jawa, untuk mengikuti suaminya yang bertugas di sana, tepatnya di Ambarawa. Ketika berada di Jawa inilah Mata Hari belajar menari untuk pertama kalinya.

Dari situlah ia kemudian banyak mementasakan tarian Jawa. Bahkan pada periode berikutnya ia juga mulai menarikan tarian-tarian erotik di hadapan banyak orang. Tentu saja hal ini membuat ia semakin dekat dengan banyak kalangan, termasuk petinggi militer. Tidak sedikit petinggi milter yang kemudian tidur bersamanya.

Lewat apa yang dilakukan oleh Mata Hari, novel ini telah melakukan sebuah protes dan sindiran keras atas sikap hipokrit pihak penguasa, termasuk kalangan rohaniawan. Simak saja ketika Mata Hari menyatakan kesetujuanya untuk menarik erotik di hadapan penguasa dan kalangan rohaniawan Katolik maupun Kristen (halaman 183-185).

Dengan tarian erotiknya Mata Hari ingin melakukan sebuah pembalikkan. Artinya, dalam kondisi kultural yang menomorduakan perempuan, ia justru ingin menunjukkan bahwa pria dapat bertekuk-lutut di bawah daya tarik gerakan erotik tariannya, maupun dan gairah seksualitasnya.

Ini adalah sebuah simbol, meskipun secara kultural laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan. Namun, di sisi lain--digambarkan melalui hubungan antara Mata Hari dengan pria yang berkencan dengannya--laki-laki adalah pihak yang justru dikuasai oleh perempuan.

Bahkan dengan caranya sendiri, Remy Syaldo, memperlihatkan bagaimana pria menjadi objek pelepas hasrat Mata Hari. Di sini terlihat bagaimana superioritas laki-laki seketika luntur tanpa perlawanan. Kelemahan leki-laki seakan ditelanjangi. Beginilah Remy Sylado mengkritik kultur patriarkal.

Sikap Mata Hari yang seakan membalaskan dendam kepada laki-laki bukan tanpa sebab. Hal itu terjadi karena sejak awal pernikahannya, ia sudah merasa ditindas oleh kekuasaan laki-laki, yakni dari suaminya sendiri. Ia menggambarkan suaminya sebagai sosok yang menakutkan, egois, dan gemar main perempuan.

Di sisi lain, Mata Hari, ditampilkan sebagai perempuan yang "melampaui" jamannya, dalam arti ia sanggup berpikir dan bertindak di luar kebiasaan. Bahkan secara terang-terangan ia menyatakan dirinya sebagai vrijdenker, atau pemikir bebas, yang karenanya ia mempertanyakan keberadaan Tuhan.

Novel ini dapat dikatakan sebuah reinterpretasi kisah Mata Hari di Indonesia. Penulis mengatakan demikian karena, hampir tiga perempat isi buku ini berisi perjalanan Mata Hari selama di Indonesia. Inilah yang membuat buku ini menarik bagi pembaca di Indonesia.***



Di Kutip Dari klik di sini



Semarang Riwayatmu Dulu



Judul: Kota Semarang dalam Kenangan
Penulis: Jongkie Tio Semarang memiliki riwayat yang cukup panjang. Jika kita telusuri, banyak kisah-kisah menarik untuk diikuti, terutama serbaneka cerita Semarang di masa lalu.

Seperti dikabarkan oleh literatur-literatur mengenai Semarang yang pernah terbit, kota yang kini menjadi Ibu Kota Jawa Tengah tersebut acap kali disebut sebagai kota pelabuhan. Hal ini disebabkan kota Semarang memang berdekatan dengan laut dan telah menjadi salah satu pintu masuk jalur perdagangan di Pulau Jawa.

Sebagai pintu perdagangan, tidak mengherankan jika kemudian Semarang menjadi sebuah "wilayah pertemuan" berbagai kebudayaan. Salah satu budaya yang berekembang di Semarang adalah kebudayaan Tiongohoa.

Hal ini dimahfumi karena di masa lalu, sekitar abad ke-17, banyak pedagang keturunan Tionghoa yang datang ke kota ini. Selain berdagang berbagai komoditi sehari-hari, mereka juga berdagang candu di kota itu. Perdagangan candu ini menjadi masalah tersendiri yang dihadapi oleh pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa saat itu.

Jejak kehadiran Tionghoa yang masih tersisa hingga kini, misalnya saja masih terdapatnya dusun atau pemukiman orang-orang keturunan Tionghoa di antero Kota Semarang, seperti seperti Gang Besen, Gang Tengah dan Gang Gambiran.

Selain itu, di Semarang banyak didapati tempat pemujaan Klenteng yang digunakan oleh masyarakat keturunan Tionghoa. Menurut cerita, bahkan ada beberapa Klenteng yang sengaja mendatangkan patung dewa dari Tiongkok.

Semua cerita mengenai Semarang tersebut digambarkan secara baik dalam buku ini. Namun sayangnya, buku ini tidak membahas hal-hal tersebut lebih dalam. Literatur yang digunakan untuk membantu penyusunan buku ini pun tidak disebutkan. Tampaknya buku ini hanya ditulis berdasarkan ingatan dan pengetahuan si penulisnya.

Foto-foto yang disertai keterangan dalam buku ini memang menarik, namun pembaca hanya menerima penggalan cerita saja, tanpa mengetahuinya lebih dalam. Akan lebih baik jika kisa-kisah mengenai apa yang terlihat di dalam foto, diceritakan lebih banyak sehingga pembaca dapat mengenal Semarang tempo dulu dengan lebih dalam. Dengan begitu buku ini menjadi medium "pengembaraan" ke masa lampau yang lebih komprehensif. ***

Salah satu foto yang terdapat dalam buku Semarang Dalam Kenangan Wayang Potehi, jejak kultural Tionghoa

Di Kutip Dari klik di sini



Meluruskan Persoalan Mendasar Pesantren

Judul: Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan
Penulis: Nurcholish Madjid
Penerbit: Dian Rakyat dan Paramadina
Terbit: 2010
Tebal: xxx + 162 halaman
Harga: Rp. 45.000

Pesantren sebagai salah satu pilar pendidikan modern Islam, tengah menghadapi tantangan yang tidak ringan. Ia harus dapat menjawab berbagai persoalan bangsa di tengah kemajuan di berbagai bidang yang tidak mungkin dihindari.

Itu sebabnya pesantaren, yang selama ini memiliki stigma sebagai lembaga pendidikan yang konservatif dan cenderung anti-modern, harus segera melakukan perbaikan. Hal tersebut bertujuan agar langkah pesantren dapat sederap dengan kemajuan, dengan tetap menjadi benteng nilai relijius.
Buku yang ditulis oleh Nurcholish Madjid ini ingin mengungkapkan masalah-masalah pokok dunia pesantren di Indonesia. Masalah-masalah itulah yang menurut Nurcholish menjadikan pesantren sulit untuk menemukan solusi masalah-masalah bangsa.

Salah satu masalah pokok yang diungkapkan Nurcholish adalah lemahnya visi dan tujuan pendirian pesanteran. Menurutnya, banyak pesantren yang gagal merumuskan tujuan dan visinya secara jelas. Ini ditambah dengan kegagalan dalam menuangkan visi tersebut pada tahapan rencana kerja ataupun program.
Akibatnya, sebuah pesantren hanya berkembang sesuai dengan kepribadian pendirinya, dengan dibantu oleh kiai maupuin pembantu-pembantulainnya. Tidak mengherankan jika semangat pesantren adalah semangat pendirinya.

Bagi Nurcholish, keterbatasan fisik dan mental pendiri pensantren itu dapat membuat pesantren menjadi kurang responsif terhadap perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Apabila hal ini tidak selesaikan, maka, pesantren akan dianggap tidak mampu lagi menghadapai tantangan-tantangan yang dibawa oleh kemajuan jaman dan modernisasi. Kekurangan inilah yang membuat terjadinya kesenjangan antara pesantren dengan "dunia luar".

Oleh sebab itu perubahan harus dilakukan, dalam arti mengejar ketinggalan yang telah. Namun demikian, Nurcholish mengingatkan sejumlah hal mengenai hal ini, misalnya perubahan tersebut harus dimulai dari "orang dalam" pesantren itu sendiri.

Kedua, perubahan sering tidak dapat dilakukan secara radikal. Akibtanya, perubahan dilakukan secara perlahan. Ini dapat dimulai dari perubahan kurikulum di pesantren, yang tidak hanya mengemban fungsi relijius tetapi juga keilmuan.

Inilah yang diistilahkan oleh Nurcholish sebagai amanat ganda pesantren, yakni amanat agama serta amanat keilmuan. Keduanya harus dilakukan secara serentak dan proporsional sehingga tercapai keseimbangan yang diharapkan.

Untuk itulah buku ini, seperti yang ditulis oleh Prof Malik Fajar dalam buku ini, menawarkan sebuah sintesa antara perguruan tinggi dan pesantren (hal. 121). Sintesa keduanya diharapkan dapat menjawab kebutuhan dua jenis pendidikan tersebut, yakni perguruan tinggi yang rasional namun miskin kedalaman spiritual, dan pesantren yang kuat dengan tradisi keagamaan, namun tertatih-tatih di bidang keilmuan.

Dengan membaca buku ini, pembaca dapat diajak untuk kembali memikirkan dan membenahi pesantren. Dengan upaya ini pesantren tidak lagi dianggap sebagi pilar pendidikan yang "nomor dua", tetapi justru menjadi ujung tombak pemberdayaan masyarakat.
Dengan begitu pesantren dapat diharapkan untuk memberikan solusi atas masalah-masalah yang seakan tidak berhenti menghujani bangsa Indonesia.***



Di Kutip Dari klik di sini



Seruan Sikap Toleransi


Judul : Maluku Kobaran Cintaku
Penulis : Ratna Sarumpaet
Penerbit : Komodo Books
Terbit : I, Desember 2010
Halaman : 512 halaman
Harga : Rp. 72.000 Aksi kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Hal ini memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia tengah menghadapi tantangan kebangsaan yang besar. Persoalannya, apa akar persoalan dari semua peristiwa tersebut.

Harus diakui, akar masalahnya tidak tunggal, melainkan multidimensional. Tidak mudah untuk mengambinghitamkan satu faktor saja. Setiap faktor dapat saja terkait dengan faktor-faktor lainnya.

Novel Maluku Kobaran Cintaku yang ditulis oleh Ratna Sarumpaet ini memperlihatkan bahwa pertikaian antar umat beragama, sering kali bersumber pada faktor eksternal. Faktor-faktor itu tidak insidental, melainkan sudah menahun.

Salah satu faktor eksternal yang diidentifikasi oleh Ratna dalam novel ini adalah kebijakan pemerintah yang dirasa tidak adil. Salah satunya adalah undang-undang kelautan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat Maluku.

Di samping itu, Ratna juga memperlihatkan bahwa kekerasan yang kian melebar di Maluku tidak lepas dari kepentingan banyak pihak. Ada kekuatan yang dengan sengaja terus membakar suasana untuk keuntungan pihat tertentu.

Bagi Ratna, tidak masuk akal bila saling pengertian antar umat beragama yang sudah dibina sejak lama di Maluku dapat hancur dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini tidak akan terjadi apabila tidak ada usaha atau skenario yang sengaja disusun untuk memanaskan suasana di sana.

Itu sebabnya Ratna tidak putus-putusnya mengingatkan adanya pihak-pihak yang "bermain" di belakang setiap gesekan yang timbul dalam masyarakat. Oleh sebab itu, penting untuk menyaring setiap isu yang berkembang dalam masyarakat.

Lebih dari itu semua, Ratna menyerukan pentingnya sikap toleransi antar umat beragama. Sejak bab pertama, ia secara tegas menyerukan hal ini. Baginya, toleransi adalah kunci perdamaian.

Di Maluku sendiri komunikasi yang baik, hubungan timbal balik yang kuat antar umat beragama sebenarnya sudah lama terjadi. Bahkan tokoh-tokoh agama, baik dari kalangan Kristen maupun Islam, digambarkan memiliki toleransi yang tinggi. Mereka pun menjalin dialog ketika terjadi krisis kepercayaan antar umat. Sayangnya, hal itu tidak mengalir ke tingkat bawah.

Sejumlah tokoh muda--demikian dikisahkan dalam novel ini--dengan latar belakang agama yang berbeda-beda kemudian muncul. Mereka berusaha membangun kembali kepercayaan antar umat beragama. Mereka mendirikan organisasi independen yang berusaha mengembalikan perdamaian di Maluku.

Anak-anak muda tersebut sadar, jika keadaan tidak segera dibenahi, maka kehancuran yang lebih hebat bakal terjadi. Sayangnya cita-cita luhur mereka dihadang oleh berbagai konflik yang pelik.

Lewat novel ini Ratna juga ingin mengatakan bahwa permusuhan antar umat beragama hanya dapat direhabilitasi dengan membangun kembali semangat saling pengertian. Hal itu tidak hanya tugas pemerintah, namun juga tokoh-tokoh agama.

Di sini tokoh agama harus dapat mengembangkan sebuah dakwah yang menyejukkan dan membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia. Sudah seharusnya tidak ada lagi tempat di negeri ini bagi mereka yang memonopoli kebenaran.***



Di Kutip Dari klik di sini



Membuka Selubung Dominasi




Judul: Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskrimnasi
Penulis: Haryatmoko
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: xv + 294 halaman
Harga: Rp. 65.000Selalu ada kekuasaan di balik realitas yang melingkupi sebuah masyarakat. Sistem kemasyarakatan hingga keketatan sebuah ideologi, selalu dikonstruksi oleh "kekuasaan" tertentu. "Kekuasaan" itulah yang disebut sebagai dominasi.
Pada bagian awal buku yang ditulis oleh Haryatmoko ini, disampaikan sejumlah gagasan yang dapat membantu pembaca untuk mulai menyadari bagaimana banyak segi dalam kehidupan telah dimistifikasi oleh kekuatan tertentu.
Gagasan-gagasan tersebut berasal dari para pemikir seperti Pierre Bourdieu, Jean Baudrillard, Jurgen Habermas, Michel Foucault, hingga Jacques Derrida, yang terkenal selalu "menaruh curiga" atas kebenaran-kebenaran yang sudah terlanjur diterima secara umum.
Michel Foucault misalnya, mempertanyakan dominasi yang menciptakan makna tunggal atas seks. Foucault yang memunculkan gagasan arkeologi pengetahuan (the archeology of knowledge), yakin bahwa ada kepentingan di balik sebuah pengetahuan dalam masyarakat.
Hal yang sama juga terdapat dalam pemkiran Jurgen Habermas, salah seorang pemikiran aliran kritis Mazhab Frankfurt. Pemikiran Habermas, demikian ditulis Haryatmoko, ingin membebaskan manusia dari rasionalitas intrumental, yang kental dengan logika dan formalisme dalam menentukan kebenaran.
Selain itu, Haryatmoko juga melihat ada sejumlah dominasi utama yang kerap menjadi akar kekerasan dalam masyarakat, yakni dominasi agama, dominasi wacana, dan dominasi uang yang mengarah kepada konsumerisme.
Menurut Haryatmoko, dengan mengutip Nelson Pallmeyer, dominasi agama kerap memicu kekerasan. Kekerasan relijius tidak hanya persoalan distorsi penafsiran teks, tetapi mengakar pada anggapan bahwa Tuhan pun berhak melakukan pembalasan ataupun kekerasan sebagai bagian dari kesucianNya.
Kemudian dominasi wacana. Menurut Haryatmoko, dominasi wacana adalah hal yang paling sulit diatasi, terutama menyangkut kekerasan simbolik. Dominasi ini beroperasi pada tataran bahasa, cara kerja, dan cara bertindak (hal. 128).
Selain itu, dampak dominasi wacana cenderung halus dan tidak terasa. Parahnya, dominasi ini diakui dan diterima oleh si korban. Contoh jelas dominasi wacana adalah, posisi subordinasi perempuan.
Dominasi lain yang kental dalam masyarakat kontemporer adalah uang. Dalam masyarakat kontemporer, uang menjadi ukuran untuk menentukan berbagai hal. Lalu konsumsi tidak lagi berdasarkan kebutuhan, melainkan tanda.
Di sini, konsumen membeli barang bukan karena manfaat, tetapi dalam kaitan pemaknaan seluruh obyek (hal. 227). Bahkan konsumsi bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi karena tekanan psikologis dan sosial.
Buku ini menarik karena dengan memahami isinya, pembaca dapat menjadi lebih kritis untuk melihat dominasi di balik sistem tertentu, yang dengannya makna kebenaran tidak lagi tunggal.
Seperti lazimnya membaca buku-buku beraroma filsafat yang kuat, untuk memahami buku ini, pembaca harus mau membuka cakrawala pemikiran secara lebih luas, dan memiliki usaha lebih untuk memahami setiap terminologi serta ide kunci yang dituangkan di dalamnya.***
(Dimuat di Koran Jakarta edisi 14 Juli 2010)

Di Kutip Dari klik di sini



Mohamad Hatta di Balik Kemerdekaan

Judul : Untuk Negeriku (Autobiografi Mohammad Hatta)

Penulis : Mohammad Hatta

Penerbit : Penerbit Buku kompas

Terbit : I, Januari 2011

Harga : Rp.125.000.

Pemikiran ekonomi maupun politik Mohammad Hatta telah ikut menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Jika itu semua berasal dari sebuah situasi mental dan kultural tertentu, maka buku inilah yang dapat menggambarkan bagaimana pemikiran itu terbentuk.

Dari buku yang merupakan autobiografi Mohammad Hatta ini, pembaca dapat melihat bahwa karakter Hatta ternyata tidak lepas dari latar belakang budaya, keluarga, pendidikan, dan pengalaman politiknya.

Latar pendidikan Hatta yang bercorak Barat, latar belakang budaya yang Islami dan menghargai pendidikan, telah membantu Hatta yang selalu ingin kritis terhadap apa yang dilihatnya. Jika memang hal itu memerlukan perbaaikan, maka itulah yang harus dilakukan tanpa kompromi.

Untuk Negeriku dibagi menjadi tiga buah judul buku yakni Buktitinggi-Rotterdam Lewat Betawi, Berjuang dan Dibuang, serta Menuju Gerbang Kemerdekaan. Masing-masing buku menandai perioode dalam kehidupan Hatta.

Buktitinggi-Rotteredam Lewat Betawi (buku 1) mengisahkan masa kecil Hatta di Padang. Dalam buku ini Hatta juga menceritakan pengalamannya ketika melanjutkan pendidikannya di Batavia, serta bagaimana ia mulai memasuki dunia pergerakan mahasiswa di Belanda.

Buku kedua, Berjuang dan Dibuang (buku 2), berisi kisah Hatta ketika ia sudah kembali ke Indonesia. Di sinilah Hatta menghadapi berbagai rintangan dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Pada periode waktu inilah ia bertemu dengan Soekarno.

Sedangkan dalam buku Menuju Gerbang Kemerdekaan (buku 3), Hatta mengisahkan berbagai peristiwa yang mewarnai saat-saat menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Di sini pembaca dapat melihat bagaimana para pendiri bangsa berada dalam situasi yang tidak mudah membuat pernyataan kemerdekaan. Perbedaan pendapat antara Syahrir, Hatta dan Soekarno adalah penyebabnya.

Sebagai sebuah autobiografi seseorang yang ikut membidani kelahiran sebuah bangsa yang merdeka, buku ini menjadi sebuah sumber sejarah yang sangat penting. Sejumlah peristiwa yang sebelumnya menjadi kontroversi, akan memperoleh perspektif lain.

Sebut saja peritiwa penculikan Soekarno yang dilakukan sekelompok pemuda. Apakah benar hal itu dipicu oleh keengganan Soekarno dan Hatta untuk menunda-nunda kemerdekaan? Jawabanya, Soekarno dan Hatta justru memiliki alasan yang rasional. Mereka ingin proklamasi kemerdekaan dilakukan oleh panitia yang sudah dibentuk yakni Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoenesia.

Kala itu Soekarno merasa tidak memiliki hak untuk mengatasnamakan rakyat Indonesia. Tindakan yang ia lakukan harus dengan persetujuan panitia yang diketuainya sendiri. Inilah yang menyulut kenekatan para pemuda membawa Soekarno dan Hatta ke Regasdengklok.

Dari buku ini kita dapat melihat bagaimana Hatta dan orang-orang yang terlibat dalam usaha kemerdekaan Indonesia, adalah orang-orang yang berjuang tanpa pamrih. Apa yang mereka lakukan adalah untuk mengakhiri penindasan yang dilakukan oleh kaum imperialis. Tidak sedikit pun terbesit keinginan untuk menduduki jabatan tertentu. Inilah yang harus dijadikan contoh oleh para calon pemimpin bangsa sekarang ini.****



Di Kutip Dari klik di sini



Konferensi Meja Bundar dalam Kenangan

Resensi Buku: Konferensi Meja Bundar dalam Kenangan #navbar-iframe { display:block }skip to main | skip to sidebarResensi BukuKumpulan resensi buku berbahasa Indonesia, baik yang sudah maupun belum dimuat di media massa cetak.Beragam resensi buku ada di sini, sastra, kebudayaan, politik, filsafat, sosiologi dan sebagainya. Semua resensi ditulis oleh pemilik blog ini.

Jumat, 04 Juni 2010 Konferensi Meja Bundar dalam Kenangan
Diposkan olehnigar pandriantodi04:19menurutku: 0komentar: Poskan Komentar

Posting Lebih BaruPosting LamaBerandaLanggan:Poskan Komentar (Atom)PengikutArsip Blog ?  2011(7) ?  Maret(1)Memoar Seorang Budayawan ?  Februari(2)Mohamad Hatta di Balik KemerdekaanSeruan Sikap Toleransi ?  Januari(4)Catatan dari Medan PerangPemikiran Kebangsaan Eks TapolPerempuan Kulit Putih pada Masa Pendudukan JepangMengurai Persoalan Hilir Pekerja Seks Komersial? 2010(23) ?  Desember(1)Kenangan Seorang Wartawan Nekad ?  November(4)Sisi Tak Terungkap Sejarah BangsaAkar Pemberontakan Macan TamilPerjalanan Spiritual Putri Tiongkok ke NusantaraSemarang Riwayatmu Dulu ?  Oktober(2)Jejak Spionase Internasional di IndonesiaPrahara di Tengah Ketegangan Budaya ?  September(1)Menaksir Bencana Lingkungan Hidup ?  Agustus(5)Betawi Sepanjang Jalan KenanganProtes Penuntasan Tragedi Mei 1998Meluruskan Persoalan Mendasar PesantrenKisah Bandung Tempo DoloeMempertanyakan Humanitas Kolonialisme ?  Juli(1)Membuka Selubung Dominasi? Juni(3)Pers di Bawah Bayang-bayang KekuasaanKonferensi Meja Bundar dalam KenanganCatatan Kegelisahan Seorang Pendaki ?  Mei(2)Terancamnya Sungai, Terancamnya PeradabanPenunggalan Makna Tubuh oleh Kekuasaan ?  April(1)Sketsa Buram Kepartaian di Indonesia ?  Maret(1)Kemanusiaan dan Kebermaknaan dalam Obituari ?  Februari(2)Menuju Kritik Sastra yang BermartabatAbsurditas Pernikahan dalam Masyarakat Kontemporer... ?  2009(7) ?  Desember(2)Catatan Kompleksitas Soe Hok-GieMelawan Otoritas Tanpa Batas Sekte Agama ?  November(1)Pecahan Mozaik Sosok Pramoedya A Toer ?  Oktober(1)Menyurusi Jejak Pemikiran WS Rendra ?  Februari(1)Catatan Perempuan Wartawan di Tengah Konflik Timti... ?  Januari(2)Melihat Berbagai Dimensi Peristiwa dengan HumorAbsurditas Manusia Jakarta ?  2008(2) ?  April(1)Menyusuri Lorong Kenangan Ajip Rosidi ?  Maret(1)Jeli Melihat Peluang Bisnis ?  2007(5) ?  Desember(1)Eksklusi Sosial Petani China ?  Agustus(4)Menghadirkan Realitas Ke Ruang KontemplatifMematahkan Pengultusan Mao Tse-tungCatatan-catatan Kritis Wartawan Tiga ZamanPuisi-puisi dari Ruang KontemplatifMengenai SayaFoto SayaNigar PandriantoOrang biasa dan sangat biasaLihat profil lengkapkuJumlah PengunjungSparklineSampaikan Saran Andadocument.write(''); Your browser does not support inline frames. Click oggix.com for free Tagboard Shoutbox Guestbook. Name : Web URL : Message : by. oggix.com  open smileys   close smileys :):(;):p:lurk:D:x:" width="16" height="16" />:-$:killself:((#-o>:D<:-*:gun:))=)):hityou\:D/X-(:cheerI-):oops:angry:drink:jump>:):horse:nono:kiss:thumb:no:rock:wavey:worry:headache:runaway:sorry:surprise:sos:bomb:blah:hit:yuhuu:banana:jumpdie:together:2gun Komen-komen Terbaru dari pengunjungSitus FavoritGramediaShopInibukuMiss BibliophileMPH Bookstore MalaysiaNiagarabukuToko Buku Palasari ONlineKlik di kolam untuk memberi makan ikan 

Di Kutip Dari klik di sini