Rabu, 23 Maret 2011

Pers di Bawah Bayang-bayang Kekuasaan


Judul: Trilogi Insiden
Penulis : Seno Gumira Adjidarma
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun: I, April, 2010
Halaman: 452 halamanSastra tidak sama dengan jurnalistik. Namun, ketika jurnalistik mengalami keterbatasan dalam mengungkapkan realitas, maka sastralah yang dapat menggantikannya. Itulah yang ingin disampaikan lewat buku ini.
Trilogi Insiden terdiri dari tiga buah buku, yakni Saksi Mata, Jazz Parfum dan Insiden, serta Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Bicara. Semuanya pernah terbit ketika Orde Baru masih berkuasa. Seperti diketahui, pada masa itu, penguasa begitu membatasi gerak pers.
Pembatasan-pembatasan inilah yang membuat pers tidak bebas dalam mengungkapkan fakta-fakta yang ditemui secara terbuka. Apalagi fakta tersebut berbenturan dengan kepentingan kekuasaan.
Jika pers mencoba untuk tetap keras kepala, ancamannya tidak tanggung-tanggung, yakni pencabutan SIUPP (Surat Ijin usaha Penerbitan Pers) alias breidel. Kondisi inilah yang membuat pers tidak dapat menjalankan tugasnya secara maksimal.
Itulah latar belakang mengapa ada kebutuhan untuk mengungkapkan fakta lewat sastra. Seperti yang terlihat pada bagian pertama buku ini, Saksi Mata. Penulis buku ini, Seno Gumira Adjidarma, tampak ingin memperlihatkan apa yang terjadi di Timor Timur terutama sekitar kekerasan yang dilakukan militer terhadap masyarakat sipil pada insiden Dili di penghujung tahun 1991.
Tentu saja catatan kekerasan seperti itu tidak pernah bisa diakses lewat media yang beredar di Indonesia kala itu. Sebab pemberitaan peristiwa yang mendapat sorotan internasional itu dapat dicap sebagai berita yang mengganggu stabilitas nasional.
Kecenderungan yang sama juga tampak dari bagian kedua buku ini, yaitu Jazz, Parfum, dan Insiden. Jika dibaca selintas, kumpulan cerita pendek dalam bagian ini seperti sulit untuk diterjemahkan. Sulit sekali mencari “pintu gerbang” yang menghubungkan antara musik jazz, parfum dan insiden.
Namun jika pembaca menelaahnya secara lebih teliti, maka hubungan itu akan lebih jelas. Jazz dalam buku ini bukan sekadar musik. Di sini jazz adalah simbol kegelapan, kepedihan, dan duka yang menyayat-nyayat.
Lalu, tiupan terompet Miles Davis bukan sekadar alunan nada, namun juga seruan kepedihan, alunan kisah-kisah sedih orang-orang yang tersingkirkan. Hal yang lebih penting lagi, Miles Davis meninggal 48 hari sebelum insiden penembakan terhadap orang-orang tidak bersenjata itu terjadi (hal. 204). Kita sudah dapat menduga, teks ini merujuk kepada insiden Dili.
Pada bagian tiga buku ini, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, Seno menuliskan sejumlah esai berkaitan dengan dunia jurnalistik. Sebagian berisi pengalamannya ketika menjadi pemimpin redaksi di majalah Jakarta Jakarta.
Dalam esai-esai tersebut ia mengisahkan ketakutan yang dialami pers bahkan telah memaksa pemimpin grup majalah tempatnya bekerja melakukan intervensi pada kebijakan redaksi. Pemberitaan yang dilakukan Jakarta Jakarta dianggap berlebihan, sehingga sejumlah orang harus “dipindahkan” ke media lain dalam grup yang sama.
Kini, di tengah iklim pers yang lebih bebas, penerbitan Trilogi Insiden memang terkesan tidak lagi kontekstual. Namun ada dua hal yang mesti dicatat. Pertama, penerbitan buku ini mengingatkan bahwa ada sejarah kelam yang dialami pers maupun masyarakat sipil oleh kekuasaan.
Kedua, kebebasan pers pada masa ini tetap terancam. Lemahnya undang-undang dan kapitalisasi media adalah ruang-ruang yang masih dapat digunakan untuk melemahkan keberadaan pers.***


Di Kutip Dari klik di sini



Tidak ada komentar:

Posting Komentar